Fakultas Ushuluddin Adakan Diskusi Publik dan Bedah Buku Deradikalisasi Terorisme

Kata “radikalisasi” dan “terorisme” sudah tidak asing lagi di negara kita. Sudah menjadi tanggungjawab setiap Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Tindakan terorisme ini menjadi ancaman global yang sudah menjadi hal yang besar. Untuk menambah pengetahuan mahasiswa mengenai radikalisasi dan terorisme, Fakultas Ushuluddin (FU) mengadakan diskusi publik dan bedah buku terkait deradikalisasi terorisme, yang bertempat di Aula Madya lantai satu, Kamis (19/4).
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta, KH. Ahmad Syafi’i Mufid memaparkan, salah satu perintah dalam agama Islam selain sholat adalah jihad. “Saat ini, banyak orang menyalah artikan kata jihad seperti peperangan. Maka tidak mustahil terjadinya radikalisme bahkan terorisme di kalangan kita,” tuturnya. Menurut Ahmad, radikalisme bukan hanya ada di Islam, tetapi pasti di setiap agama ada kelompok-kelompok radikal yang melakukan deradikalisasi. Namun, pada saat ini karena banyaknya relasi, seseorang bisa mengambil jalan fundamentalis. “Radikal adalah sebuah sikap, tetapi jika sudah berubah menjadi keyakinan itu sudah berubah menjadi sebuah paham,” ujarnya. Ahmad menjelaskan, ada banyak persoalan yang terkait dengan radikalisme dan terorisme, seperti persoalan yang menyangkut ideologi, ekonomi kesejahteraan dan relasi sosial. Dirinya mengungkapkan dari hasil penelitian riset menunjukan bahwa mayoritas pelaku teror dimotivasi oleh ideologi, yaitu ideologi iqomatuddin atau iqomatuddaulah.
Mahasiswa FU, jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir (Iqtaf) semester dua, Allifa Nadya Amamta menjelaskan, acara ini sangat penting untuk mahasiswa, karena dengan adanya acara ini bisa lebih paham dan mengerti, bahwa radikalisme dan terorisme tidak hanya ada dalam agama Islam saja, tetapi di semua agama. “Dalam Islam juga kita tidak diajarkan untuk saling menyakiti satu sama lain, berbeda dengan terorisme yang kita tahu saat ini yang selalu dikaitkan dengan kekerasan dan pengeboman,” ujarnya. Menurut Allifa, radikalisme dan terorisme sendiri muncul dari masing-masing individu dan keyakinan yang dianut. Allifa berharap, agar masyarakat bisa lebih toleransi atas keyakinan yang ada di negara ini, karena adanya perbedaan bukan alasan terjadinya perpecahan, tetapi justru dapat menjadikannya sebagai perekat satu dengan yang lainnya. “Semoga Indonesia bisa menjadi lebih baik dan aman,” tutupnya.
(Syifa Kaltsum)